Langsung ke konten utama

Sejarawan, Ahli Sejarah, Historiografer


By Alfi Arifian


Sejarah Dunia Abad Pertengahan 500-1400 M. Ini buku pertama saya. Data-data sejarah yang berhasil saya susun menjadi sebuah buku untuk diterbitkan. Ada sensasi tersendiri yang tiba-tiba menyeruak, suatu kebanggaan ketika pertama kali melihat judul yang sama terpampang dalam sampul berwarna biru dengan nama penulis di bagian atasnya. “Ya, akhirnya aku berhasil menulis buku sejarah.”

Sejak dulu saya bercita-cita menjadi akademisi, sejarawan. Namun, secara akademik, saya adalah sarjana sastra. Tak bersinggungan jauh memang, sebab sejarah dan sastra sama-sama rumpun sosial. Meski selama kuliah di jurusan sastra saya lebih banyak menggali subjek seputar sejarah Eropa, sejatinya saya tak mengenyam studi ilmu sejarah, yang melahirkan seorang “ahli sejarah”. Saya hanya menyenangi sejarah dan ingin menulis buku sejarah.

Ternyata lewat buku ini, Kuntowijoyo memberi saya gelar, “sejarawan”. Katanya, “sejarawan adalah orang yang menulis buku sejarah” (apa pun latar pendidikannya), sementara “ahli sejarah adalah orang yang memiliki gelar akademik pada ilmu sejarah” (dengan atau tanpa menulis buku sejarah sekalipun). Sama seperti “saksi ahli” kasus pembunuhan, dia tak harus membunuh dulu, bukan?

Saya lebih senang menempatkan diri sebagai “historiografer”, yakni orang yang merangkum kumpulan sumber data mengenai sejarah. Kalau dalam bahasa Inggris kurang lebih begini: Historian is a chronicler or interpreter of the past; while historiographer writes about the ways in which history has been interpreted over time. (Sejarawan adalah penulis/perekam peristiwa bersejarah atau orang yang menerjemahkan peristiwa yang terjadi di masa lalu; sementara historiografer menulis metodologi sejarah yang telah diterjemahkan oleh sejarawan)

Baik sejarawan maupun historiografer memiliki satu kesamaan bidang kerja: rekonstruktor.

Sejatinya, sejarah adalah kajian masa lalu. Seorang sejarawan atau historiografer pasti tidak menjumpai peristiwa yang menjadi objek sejarah. Sebab, kalau dia menjumpai, sebutannya adalah “pelaku sejarah”. Memang ada beberapa “pelaku sejarah” yang menjadi sejarawan, sebab dia menulis peristiwa tersebut.

Kata “sejarah” dalam persepsi makna orang Indonesia selalu merujuk masa lalu (past). Peristiwa hari ini tidak bisa disebut sejarah oleh orang yang hidup di masa kini (present), kecuali telah berlalu (was). Orang yang menulis peristiwa hari ini tidak bisa disebut menulis “sejarah”, kecuali ada momen khusus di mana dia merekamnya—itupun sebutannya bukan “menulis sejarah”, melainkan menulis peristiwa yang nantinya menjadi “sejarah”. Tulisan mengenai peristiwa hari ini disebut “jurnal”. Kalau dalam bahasa anak gaul namanya “diary”. Maka, para perekam itu disebut “jurnalis”.

Karena tidak menjumpai peristiwa yang menjadi sejarah, sejarawan maupun historiografer hanya “merekonstruksi” masa lalu berdasarkan data temuan mereka. Data-data itu bisa berupa prasasti, perkamen, teks kuno, kuburan, candi, relief, cerita pelaku sejarah, situs geologi, ataupun buku yang ditulis oleh sejarawan yang lebih dulu menerjemahkan peristiwa masa lalu tersebut. Rekonstruksi yang dimaksud adalah membangun ulang peristiwa masa lalu dengan “mental image” (gambar imajinasi) mereka. Jadi, buku sejarah tak ubahnya dongeng yang disebut “ilmiah” lantaran metodologi yang mendasari kajiannya. Dongeng itu bisa murni atas idealisme sang sejarawan, bisa juga pesanan.           

Dalam menulis sejarah, seorang sejarawan atau historiografer terkadang atau bahkan sering menjumpai adanya celah (gap) yang menjadikan kebuntuan dalam menemukan kesimpulan yang ingin dia bangun. Di sanalah imajinasi sang sejarawan bermain.

Contoh imajinasi berdasarkan temuan data sejarah adalah, sebagai berikut:

A. Pernyataan bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam dan bahwa Gajahmada adalah Muslim dengan nama Gaj Ahmada.
Data ini tertuang dalam buku “Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi”. Diterbitkan pertama kali oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta tahun 2010, bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah. Dalam buku tersebut, data utama adalah temuan mata uang koin berlambang Surya Majapahit namun berinkripsi “La ilaha illallah”.

B. Pernyataan bahwa Indonesia adalah Negeri Atlantis.
Data ini tertuang dalam buku “Atlantis: The Lost Continent Finally Found” karya Profesor Arysio Santos. Dengan menelaah tulisan Plato dan penelitiannya di Indonesia selama 30 tahun, sang profesor menyatakan bahwa Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Singapura, Malaysia pernah menyatu membentuk daratan yang disebut “Sunda Island”, yang merupakan Negeri Atlantis. Hal ini dicocokkan dengan karakter gunung api, tanah agraris, negeri maritim, sumber daya alam yang kaya dan rupa-rupa lainnya. Bahkan, Pulau Bawean disebut sebagai purwarupa Atlantis.

C. Pernyataan bahwa Borobudur dibangun Raja Sulaiman.
Pernyataan ini ditelurkan oleh matematikawan UIN, Fahmi Basya, dalam buku “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman” dan “Indonesia Negeri Saba’”. Sindung Tjahjadi, M.Hum dari Fakultas Filsafat UGM menyebut teori Fahmi Basya sepertinya mendekati penggunaan "utak-atik gathuk". Fami Basya mengklaim temuannya dalam relief Borobudur, stupa Boko yang katanya dipindah oleh kekuatan jin, serta perhitungan matematis. Katanya hanya Sulaiman yang mampu menggerakkan kekuatan bangsa Jin untuk membangun candi, memindahkan takhta Saba’, serta dalam relief Borobudur ada gambar burung yang mewakili Hud-hud, burung mata-mata milik Sulaiman. Fahmi Basya menggunakan pendekatan keyakinan.

D. Pernyataan Invasi Paderi ke Batak oleh Tuanku Rao.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Mangaradja Onggang Parlindungan yang menulis buku “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak” yang terbit pertama kali tahun 1964. Lalu, di tahun 1974 (sepuluh tahun kemudian), Prof. Hamka menulis buku tandingan “Antara Fakta dan Khayal: Tuanku Rao” sebagai bantahan terhadap tulisan Parlindungan. Data yang diperoleh Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan adalah cerita mulut dari leluhurnya (Orang Batak) yang dibantah oleh Prof. Hamka (selaku Orang Minang). Sebab, pernyataan tersebut telah memicu sentimen ras yang kebenarannya (invasi Paderi ke Batak-Karo) masih dipertanyakan. Sebagaimana diketahui, kaum Paderi kebanyakan adalah Orang Minang. Belanda dan kaum adat mengklaim bahwa kaum Paderi akan menyingkirkan orang-orang yang musyrik dan tak sepaham untuk membangun Negara Islam (disinyalir dengan bukti meruntuhkan Pagaruyung). Namun, sampai hari ini, tak ada bukti nyata yang menunjukkan Paderi membangun Negara Islam. Sehingga, invasi Paderi yang dipimpin Panglima Rao dengan membantai rakyat Batak masih dipertanyakan kebenarannya. Prof. Hamka masih menyangsikan keberadaan tokoh yang disebut Tuanku Rao.

Itu adalah beberapa contoh klaim sejarah yang terekonstruksi berdasarkan imajinasi penulis sejarah (baca: sejarawan). Beberapa contoh di atas, para sejarawan sebagian menggunakan metodologi ilmiah, meski hasilnya meragukan. Namun, apa pun hasilnya, jika telah ditelaah dan diteliti dengan metodologi ilmiah, tidak ada pernyataan benar-salah. Sebab, dalam bidang ilmiah, untuk membantah suatu pernyataan, buatlah pernyataan tandingan, seperti Prof. Hamka yang meng-konter pernyataan Mangaradja Onggang Parlindungan, meski berjarak sepuluh tahun kemudian.   

Di situlah saya tertarik dengan kajian metodologis sejarah. meskipun masih seputar sebagai “historiografer”, setidaknya saya sudah berkarya dan turut mengayakan khazanah pengetahuan sejarah.

Saya pernah menulis jurnal yang diterbitkan oleh Jurnal Antropologi Universitas Andalas, berjudul “Redefinisi Kaum Paderi Melalui Metodologi Genealogis Foucauldian sebagai Aspek Rekonsiliasi Etnis Batak-Minang”. Di sana saya telah menggunakan metodologi untuk penulisannya dan memuat pernyataan berdasarkan data pustaka, kajian perbandingan, serta kesimpulan imajinatif ala sejarawan bahwa:

Kaum Paderi sejatinya terdikotomi. Dibuktikan dengan penggunaan gelar “Tuanku Imam Bonjol” yang tidak digunakan oleh pemimpin Paderi lainnya. Sejarah menyatakan bahwa Imam Bonjol adalah penerus Tuanku Nan Renceh, pemimpin gerakan Paderi yang pertama serta pemimpin kelompok “Harimau Nan Salapan” (di sinilah celah sejarahnya). Padahal, Tuanku Nan Renceh tidak disebut “imam”, rentang zaman berbeda dengan Imam Bonjol, serta Imam Bonjol bukan anggota “Harimau Nan Salapan”. Kesimpulan ini berangkat dari interpretasi konsep imamah (keamiran) yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol di Nagari Bonjol, di mana konsep nagari mirip dengan penjelasan “balad” dalam konsep Islam. Sehingga, tidak ada relasi antara gerakan Paderi yang dipimpin Tuanku Nan Renceh maupun Imam Bonjol. Padahal, Tuanku Nan Renceh dianggap dakwah ekstrem, termasuk membantai dinasti Pagaruyung di Kototangah (1815) karena dianggap simbol adat (musyrik).

Jadi, ada dua kelompok berbeda di tubuh Islam Puritan kala itu: kelompok Tuanku Nan Renceh (Harimau Nan Salapan) dan kelompok Tuanku Imam Bonjol di Nagari Bonjol.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gereja Santo Mikael: Harmony in Diversity

By Alfi Arifian Sebagai seorang muslim yang hidup di lingkungan Katolik sejak kecil, saya telah mengarungi bahtera perbedaan dengan orang-orang terdekat. Saya mengagumi bangunan tinggi tempat peribadatan umat Katolik yang selalu memadukan unsur estetika klasik medieval seperti Gothik atau Romanesque. Jika tak salah, Gereja Katolik memiliki nama berbeda dalam stratanya. Seperti Kapel (gereja kecil), Paroki (Gereja Pastorial), Katedral (Gereja Keuskupan atau Kardinal) dan Basilika (tempat kedudukan Paus). Saat sebelum saya beserta keluarga pindah rumah, saya tinggal di Jalan Kartini. Nama itu selalu terngiang di ingatan dan benak saya, sebab masa kecil saya lebih banyak dihabiskan di sana. Bagi saya tak ada kenangan hidup terindah selain kenangan masa kecil. Di sanalah selalu tersedia ruang ingatan yang takkan pernah saya hapus. Mungkin sebagian besar orang akan mengatakan kenangan terindah adalah masa SMA, namun saya memilih antitesis-nya. Bukan berarti masa SMA saya merup...

RESENSI BUKU "THE CHRONICLES OF THE GREAT WAR"

Judul Resensi: Ternyata Raja Inggris yang Menyebabkan Perang Dunia Pertama Peresensi: Faaqih Irfan Djailan Sumber: https://www.plukme.com/post/ternyata-raja-inggris-yang-menyebabkan-perang-dunia-pertama-wP2I9sd Judul buku: The Chronicles of Great War: Kronik Perang Dunia I, 1914-1918 Penulis: Alfi Arifian Jumlah halaman: 234 Penerbit: Sociality, Yogyakarta Tahun Terbit: 2017 ------------------------------------- Perang Dunia Pertama yang terjadi pada 1914-1918 sebagaimana diketahui banyak khalayak adalah perang yang disebabkan oleh terbunuhnya putra mahkota Kekaisaran Austro-Hungaria, Franz Ferdinand, oleh Gavrilo Princip. Alasan dasar Princip membunuh sang putra mahkota adalah nasionalisme Serbia yang menginginkan kemerdekaan Serbia dari Austro-Hongaria setelah lepas dari cengkraman Kesultanan Ustmaniyah pada abad ke-19. Ironisnya, pembunuhan itu sebenarnya semacam pembunuhan dari gerakan bawah tanah yang tidak direstui oleh banyak kalangan di Serbia...

Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan Minangkabau di Sumatra Barat

Oleh: Alfi Arifian        Provinsi Sumatera Barat dihuni oleh mayoritas etnis atau bangsa yang disebut Minangkabau (Minang). Bangsa Minang memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan unik. Lahirnya bangsa Minangkabau sendiri adalah hasil dari asimilasi budaya yang di dalamnya terdapat banyak akulturasi budaya yang mengidentifikasi kelembagaan adat Minangkabau . Bangsa Minangkabau adalah bangsa sastra. Lahirnya karya sastra besar negeri ini didominasi tokoh-tokoh kelahiran Minang . Hal ini karena kebudayaan Minang sendiri yang lahir dari sebuah legenda, mitologi, atau dongeng. Minangkabau hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis atau kronik historis karena budaya lisan yang sangat mendominasi. Sejarah Minang lebih banyak berasal dari lisan atau cerita mulut yang diwariskan turun temurun yang disebut tambo ( Tambo Alam Minangkabau ) . Tambo berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘kabar’. Makanya dalam istilah Orang Minang disebut ‘kaba’. Tamb...