Langsung ke konten utama

Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan Minangkabau di Sumatra Barat

Oleh: Alfi Arifian


       Provinsi Sumatera Barat dihuni oleh mayoritas etnis atau bangsa yang disebut Minangkabau (Minang). Bangsa Minang memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan unik. Lahirnya bangsa Minangkabau sendiri adalah hasil dari asimilasi budaya yang di dalamnya terdapat banyak akulturasi budaya yang mengidentifikasi kelembagaan adat Minangkabau.
Bangsa Minangkabau adalah bangsa sastra. Lahirnya karya sastra besar negeri ini didominasi tokoh-tokoh kelahiran Minang. Hal ini karena kebudayaan Minang sendiri yang lahir dari sebuah legenda, mitologi, atau dongeng. Minangkabau hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis atau kronik historis karena budaya lisan yang sangat mendominasi. Sejarah Minang lebih banyak berasal dari lisan atau cerita mulut yang diwariskan turun temurun yang disebut tambo (Tambo Alam Minangkabau). Tambo berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘kabar’. Makanya dalam istilah Orang Minang disebut ‘kaba’. Tambo atau kaba adalah legenda cerita mulut yang dipercaya sejak dulu. Para orang tua memberi petuah atau nasehat dari kaba ini kepada generasi mudanya lewat syair atau pantun. Biasanya diperdengarkan di saat berkumpulnya anak-anak yang belum dewasa di dalam surau. Surau sendiri merupakan basis peradaban Orang Minang setelah masuknya Islam, yang konsepnya hampir mirip dengan orang Yunani Sparta─yang tujuannya membentuk generasi muda yang belum dewasa untuk belajar (tentang agama) serta seni bela diri (silek).
Kemiripan ini yang akhirnya dipercaya Orang Minang bahwa mereka adalah keturunan Raja Agung Iskandar Zulkarnaen dari Makedonia Yunani. Tambo semacam ini, entah kapan awal mulanya, telah mengubah persepsi dan sebagian besar landasan utama yang akhirnya menjadi adat terlembaganya Orang Minang. Bahwa Orang Minang adalah bangsa besar keturunan orang besar. Bahwa mereka menentang bentuk dominasi dan penjajahan, dengan pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Hal ini dibuktikan dengan kampanye anti-asing yang terjadi sejak jaman invasi Majapahit yang dikalahkan dengan diplomasi adu Kerbau─dimana istilah minangkabau berasal─maupun “Perang Sabil” dalam Perang Paderi II, serta bentuk administrasi pemerintahan konfederasi kota (nagari dan lareh) yang otonom.
Akar kebudayaan Minangkabau adalah Melayu (Malayapura) yang berkedudukan di Dharmasraya. Raja Dharmasraya memiliki dua orang putri yang dijadikan upeti ketika invasi Majapahit pertama berlangsung (Ekspedisi Pamalayu I) demi menghindari pertumpahan darah. Sang Mahamantri Adwayabrahma membawa dua putri Melayu di hadapan Raden Wijaya. Dara Petak yang dinikah Raden Wijaya, serta Dara Jingga yang dinikah Adwayabrahma. Dari Dara Petak lahirlah Jayanagara (putra mahkota) dan dari Dara Jingga lahirlah Adityawarman. Ketika terjadi pemberontakan jenderal kepercayaan Raden Wijaya (Rakuti, Nambi, Sora dll), keluarga raja terpencar dan Jayanagara hilang. Oleh dewan menteri, Adityawarman dinobatkan sebagai calon raja. Namun kemudian, Gajahmada datang membawa Jayanagara. Demi menghormati sepupunya, Jayanagara mengangkat Adityawarman sebagai Mahamantri (Patih) seperti ayahnya. Dia diminta melanjutkan misi Ekspedisi Pamalayu. Di tanah Malayapura, ia melihat Dharmasraya diperintah oleh Akarendrawarman (paman dari ibu). Kedatangannya disambut Datuk Ketemanggungan (Patih Dharmasraya) sebagai delegasi Majapahit. Namun kali ini tidak ada upeti. Patih muda ini diminta adu pintar sebagai ganti invasi. Salah satunya dengan adu kerbau. Karena akal Datuk Ketemanggungan kerbau Majapahit pun kalah. Lahirlah istilah Minangkabau.
Saat pulang ke Majapahit, Adityawarman berpikir untuk datang lagi ke Dharmasraya. Dia pun minta ijin Tribhuwanatunggadewi (adik Jayanagara) untuk kembali melakukan ekspedisi. Namun kali ini tujuannya bukan untuk aneksasi ke Majapahit. Dia ingin jadi raja. Dengan status sebagai cucu Raja Dharmasraya, Adityawarman mengklaim tahta untuk dirinya. Dia pun berhasil naik tahta dan menaklukan negeri-negeri tetangga Dharmasraya. Seluruh Malayapura pun berhasil ia kuasai (yang sekarang masuk wilayah provinsi Sumatra Barat, bahkan sebagian Riau dan Negeri Sembilan Malaysia). Ia pindahkan ibukota ke pedalaman Pagaruyung di Tanahdatar guna menghindari invasi Hayam Wuruk. Ia juga mengangkat diri sebagai Maharajadiraja dari Pagaruyung, sebuah gelar tertinggi dalam strata Hindu untuk raja agung, menyaingi kedudukan Hayam Wuruk. Dan sampai Majapahit runtuh, kerajaan Pagaruyung dinasti Mauli tetap berdiri, bahkan menjadi kesultanan di era Sultan Alif. Ia runtuh ketika Belanda mengintervensi perang saudara dalam Perang Paderi.           
Dari sejarah singkat di atas, bisa disimpulkan asimilasi budaya yang menghasilkan lahirnya Bangsa Minangkabau adalah asimilasi Malayapura (Melayu) dan Jawa dalam tataran Hindu. Dilihat dari suksesi tahta, baik Majapahit dan Dharmasraya menganut sistem patriarkal. Dengan Adityawarman menjadi raja menggantikan Akarendrawarman (pamannya), sistem matrilineal sudah diterapkan. Sebagai penerus kebudayaan Malayapura (Melayu), sistem matrilineal inilah identitas utama bangsa Minangkabau yang dibedakan dari seluruh bangsa serumpun. Sebagai lembaga tertinggi, raja mampu menciptakan tatanan sosial di masyarakat. Dia mampu menetapkan hukum, agama negara, maupun landasan budaya yang menjadi warisan anak cucu di kemudian hari. Bahkan ketika Islam masuk dan menjadi agama negara (Kesultanan Pagaruyung), adat matrilineal dan adat budaya Minangkabau tetap dipertahankan. Untuk menyeimbangkan konsepsi ini di Imperium Minangkabau ada tiga raja yang berkuasa (Rajo Tigo Selo) yang diperkuat Basa Ampek Balai (empat orang besar bertahta). Mereka adalah Rajo Alam (penguasa semesta Minangkabau di Pagaruyung), Rajo Adat, serta Rajo Ibadat. Sebagai sekumpulan konfederasi kota yang otonom (terdiri dari banyak nagari dan lareh), di Minangkabau berlaku hukum federal di bawah otoritas Rajo Alam. Sedangkan rumah tangga internal konfederasi kota dipimpin seorang penghulu yang diwariskan secara matrilineal.     
Sedangkan akulturasi dalam budaya Minangkabau adalah akulturasi Hindu dan Islam yang menghasilkan strata dalam masyarakat. Meski pepatah Minang mengatakan, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, tapi pada dasarnya mereka tetap mempermasalahkan strata sosial. Bangsawan harus menikah dengan bangsawan dan sebagainya. Hasil akulturasi ini juga tertuang dalam cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah yang bertuliskan inkripsi Arab yang menyebutkan gelar sultan. Berarti aksara yang berlaku di Kesultanan Pagaruyung secara resmi menggunakan aksara Arab-Melayu. Istilah yang lahir dari kebahasaan Minangkabau juga banyak dipinjam dalam pelafalan bahasa Indonesia kini seperti balai (ba'alai=beralas--tempat duduk), ruang, sahabat, nagari (negeri) dan sebagainya. Akulturasi ini juga mencakup peran  tambo atau dongeng di masyarakat seperti Malin Kundang dan Batu Menangis yang diadaptasi sastra Indonesia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gereja Santo Mikael: Harmony in Diversity

By Alfi Arifian Sebagai seorang muslim yang hidup di lingkungan Katolik sejak kecil, saya telah mengarungi bahtera perbedaan dengan orang-orang terdekat. Saya mengagumi bangunan tinggi tempat peribadatan umat Katolik yang selalu memadukan unsur estetika klasik medieval seperti Gothik atau Romanesque. Jika tak salah, Gereja Katolik memiliki nama berbeda dalam stratanya. Seperti Kapel (gereja kecil), Paroki (Gereja Pastorial), Katedral (Gereja Keuskupan atau Kardinal) dan Basilika (tempat kedudukan Paus). Saat sebelum saya beserta keluarga pindah rumah, saya tinggal di Jalan Kartini. Nama itu selalu terngiang di ingatan dan benak saya, sebab masa kecil saya lebih banyak dihabiskan di sana. Bagi saya tak ada kenangan hidup terindah selain kenangan masa kecil. Di sanalah selalu tersedia ruang ingatan yang takkan pernah saya hapus. Mungkin sebagian besar orang akan mengatakan kenangan terindah adalah masa SMA, namun saya memilih antitesis-nya. Bukan berarti masa SMA saya merup...

RESENSI BUKU "THE CHRONICLES OF THE GREAT WAR"

Judul Resensi: Ternyata Raja Inggris yang Menyebabkan Perang Dunia Pertama Peresensi: Faaqih Irfan Djailan Sumber: https://www.plukme.com/post/ternyata-raja-inggris-yang-menyebabkan-perang-dunia-pertama-wP2I9sd Judul buku: The Chronicles of Great War: Kronik Perang Dunia I, 1914-1918 Penulis: Alfi Arifian Jumlah halaman: 234 Penerbit: Sociality, Yogyakarta Tahun Terbit: 2017 ------------------------------------- Perang Dunia Pertama yang terjadi pada 1914-1918 sebagaimana diketahui banyak khalayak adalah perang yang disebabkan oleh terbunuhnya putra mahkota Kekaisaran Austro-Hungaria, Franz Ferdinand, oleh Gavrilo Princip. Alasan dasar Princip membunuh sang putra mahkota adalah nasionalisme Serbia yang menginginkan kemerdekaan Serbia dari Austro-Hongaria setelah lepas dari cengkraman Kesultanan Ustmaniyah pada abad ke-19. Ironisnya, pembunuhan itu sebenarnya semacam pembunuhan dari gerakan bawah tanah yang tidak direstui oleh banyak kalangan di Serbia...