Langsung ke konten utama

Gereja Santo Mikael: Harmony in Diversity



By Alfi Arifian

Sebagai seorang muslim yang hidup di lingkungan Katolik sejak kecil, saya telah mengarungi bahtera perbedaan dengan orang-orang terdekat. Saya mengagumi bangunan tinggi tempat peribadatan umat Katolik yang selalu memadukan unsur estetika klasik medieval seperti Gothik atau Romanesque. Jika tak salah, Gereja Katolik memiliki nama berbeda dalam stratanya. Seperti Kapel (gereja kecil), Paroki (Gereja Pastorial), Katedral (Gereja Keuskupan atau Kardinal) dan Basilika (tempat kedudukan Paus).

Saat sebelum saya beserta keluarga pindah rumah, saya tinggal di Jalan Kartini. Nama itu selalu terngiang di ingatan dan benak saya, sebab masa kecil saya lebih banyak dihabiskan di sana. Bagi saya tak ada kenangan hidup terindah selain kenangan masa kecil. Di sanalah selalu tersedia ruang ingatan yang takkan pernah saya hapus. Mungkin sebagian besar orang akan mengatakan kenangan terindah adalah masa SMA, namun saya memilih antitesis-nya. Bukan berarti masa SMA saya merupakan kenangan buruk. Bisa dibilang saat SMA saya menjalani kehidupan layaknya Thomas Aquinas, sang Pangeran Skolastik. Saya tinggal di sekolah asrama bagi muslim, atau bahasa gaulnya “pesantren”. Persis seperti sekolah biarawan, banyak sekali aturan di pesantren terutama yang berkaitan dengan aturan agama. Kalau sedang jatuh cinta pun tetap berada dalam batasan sekat dogmatis, sehingga kecil kemungkinan terjerat cinta birahi seperti halnya Petrus Abelardus yang menghamili seorang biarawati sampai dikebiri pamannya.

Kembali lagi pada persoalan nama “Jalan Kartini”. Jalan Kartini berada di ruas kanan dari arah Jogja, tepatnya di jalur selatan di kabupaten Kebumen. Banyak orang masih memperdebatkan mana istilah “Jalan Daendels” yang benar, sebab jalan provinsi yang membentang di jalur selatan Sumpiyuh-Gombong-Karanganyar dianggap sebagai jalur utama yang menghubungkan Anyer-Panarukan, ditambah lahan sawah masih banyak di kiri-kanan jalan yang merupakan akses logistik era kolonial. Sementara itu yang lain berpendapat “Jalan Daendels” adalah jalan selatan-selatan yang berdekatan dengan Pantai Ayah-Petanahan di kabupaten Kebumen, sebabnya jalannya lebih kecil dan usianya lebih tua ketimbang jalur selatan, serta lokasinya yang dekat pantai lebih memudahkan akses dari laut seperti kargo dan kedatangan pasukan Belanda-Perancis untuk menghalau Inggris (Daendels notabene gubernur-jenderal bawahan Napoleonsaat itu Raja Belanda adalah adik Napoleon, Louis Bonaparte atau Koning Lodwijck). Entahlah. Lagipula saya tak ikut kerja rodi sewaktu Daendels bikin jalan.

Jalan Kartini merupakan peradaban Kota Gombong, tempat kelahiran saya. Jalan Kartini bagi saya adalah Yerusalem-nya Kebumen. Di sana berdiri tempat ibadah tiga agama; Masjid (di bekas tanah asrama suster), Gereja Paroki (di kompleks Yayasan Pius Bakti Utama yang berdekatan RS Pius Palang Biru), dan Gereja Kristen (di depan rumah sakit tentara atau DKT). Kalau dirunut sejarahnya, bisa dibilang Jalan Kartini adalah kawasan Katolik. Gereja Paroki Santo Mikael merupakan Gereja tertua di kabupaten Kebumen yang dibangun tahun 1960an, sehingga aslinya Jalan Kartini bernama Jalan Gereja. Namun, penduduk Muslim setempat tetap menyebut Jalan Kartini lantaran sejurus ke utara dari Gereja St. Mikael berdiri sekolah tua yang dulu dinamai SD Kartini. Jadi, Jalan Gereja hanyalah sebutan untuk area dari RS Pius Palang Biru sampai SD Kartini, sementara itu dari RS Pius Palang Biru ke selatan arus jalan adalah Jalan Kartini sampai SD Kartini (sebab dari pertigaan SD Kartini sampai Pertigaan kawasan SECATA disebut DKT).

Jalan Gereja merupakan kawasan istimewa layaknya zona demarkasi yang ada di sepanjang Jalan Kartini. Uniknya, selama saya tinggal di sana, tidak ada yang namanya konflik berbau sara yang membawa agama. Meskipun di depan Gereja Santo Mikael berdiri asrama suster (biara) yang sering kedatangan para biarawati dari luar daerah untuk mengajar di Yayasan Pius atau mungkin melaksanakan tugas misionaris.

Satu-satunya konflik yang pernah tercatat dalam ingatan saya adalah bentrokan Golkar dan PDIP setelah jatuhnya rezim Soeharto dan awal kepemimpinan Megawati. Sebabnya, Jalan Kartini sebelumnya merupakan basis Golkar, ditambah ada markas militer di kawasan Garnisun (Dodik) yang dianggap alat kekuasaan rezim Soeharto. Berbondong-bondong sekelompok pemuda dari luar daerah merangsek Jalan Kartini untuk mencari dedengkot Golkar dan membakar bendera-bendera kuning di sepanjang jalan.     

Dari sudut pandang doktrinal, umat beragama di kawasan Jalan Kartini terbilang adem ayem. Masjidlah yang paling berdekatan dengan Gereja Katolik Santo Mikael, sehingga ikatan psikologis antara umat Islam dan Katolik di kawasan itu terjalin kuat. Dulu, setiap pagi saya kerap menyaksikan suster muda maupun yang telah uzur turun dari asrama menuju ke Gereja atau ke sekolah. Pakaian mereka sangat khas dengan seragam biru dan penutup kepala putih. Awalnya saya mengira mereka adalah suster perawat di rumah sakit. Tak salah juga, sebab mereka juga bekerja mengabdi di RS Pius Palang Biru. Setelah saya membaca literatur Abad Pertengahan tentang sejarah Katolik dan perbedaan doktrinal di antara tiga Gereja, baru saya paham siapa itu “suster”. Penampilan suster yang saya lihat (entah karena perbedaan ordo atau khusus aturan di Indonesia) berbeda dari yang saya lihat di telenovela “Dulce Maria”. Suster di negara Latin lebih tertutup seperti pakaian gamis dan jilbab, sementara di Jalan Kartini susternya berpakaian masih agak longgar. Roknya tidak terlalu panjang (hanya sampai lutut), penutup kepalanya hanya menutupi rambut, sehingga leher masih terlihat. Mungkin karena perbedaan musim di Eropa dan Indonesia. Entahlah juga.  

Gereja Santo Mikael yang menjulang tinggi selalu nampak menawan di mata saya. Saya selalu menyebutnya “Katedral”. Dindingnya yang berwarna krem seperti cokelat susu dengan atap lebar dan genting kecil-kecil yang rapat mengingatkan saya pemandangan di film Assassin’s Creed mengenai bangunan Abad Pertengahan. Bagi saya bangunan Katedral St Mikael tak memiliki aura Gothik yang dianggap horor, meskipun cirinya yang tinggi dan lancip di ujung bangunan depan sebagai menara lonceng merupakan warisan Gothik. Lonceng menara Gereja akan berdentang tiap satu jam untuk menunjukkan waktu setempat. Bila lonceng berdentang satu kali yang diawali dentang pembuka, berarti jam menunjukkan pukul satu (dentang pembukanya itu mirip suara di stasiun). Saat saya menulis ini pun suara dentang lonceng Gereja masih terasa terdengar di telinga saya. Sangat puitis. Bukan pada soal dentang itu, namun pada harmoni yang terbangun di antara perbedaan, terutama perbedaan keyakinan.

Saat pendulum lonceng itu membunyikan suara-suara penanda waktu, maka penanda itu juga seakan memberi tahu warga Muslim untuk bersiap-siap. Semisal jam tiga sore, setelah lonceng berbunyi, maka diikuti lantunan azan yang menggema di seluruh kota. Saya selalu merindukan masa itu. Masa di mana lonceng Katedral memadu dengan bedug takbir saat menjelang lebaran. Masa di mana begitu keluar rumah di pagi hari selalu disambut senyum hangat para suster yang berjalan beriringan rapi menuju Gereja. Masa di mana “iman” merupakan nomor dua saat keberagaman muncul, dengan mendahulukan asas perdamaian dan harmoni.

Bagi saya selalu ada keindahan dalam Harmony in Diversity, seperti motto “Bhineka Tunggal Ika”.

Komentar

Anonim mengatakan…
The casino with roulette machines | Vannienailor4166 Blog
Casino roulette game is one of the https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ most popular casino 출장안마 games in Malaysia. nba매니아 It offers the latest games with the best https://septcasino.com/review/merit-casino/ odds, with https://access777.com/ big payouts and easy

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU "THE CHRONICLES OF THE GREAT WAR"

Judul Resensi: Ternyata Raja Inggris yang Menyebabkan Perang Dunia Pertama Peresensi: Faaqih Irfan Djailan Sumber: https://www.plukme.com/post/ternyata-raja-inggris-yang-menyebabkan-perang-dunia-pertama-wP2I9sd Judul buku: The Chronicles of Great War: Kronik Perang Dunia I, 1914-1918 Penulis: Alfi Arifian Jumlah halaman: 234 Penerbit: Sociality, Yogyakarta Tahun Terbit: 2017 ------------------------------------- Perang Dunia Pertama yang terjadi pada 1914-1918 sebagaimana diketahui banyak khalayak adalah perang yang disebabkan oleh terbunuhnya putra mahkota Kekaisaran Austro-Hungaria, Franz Ferdinand, oleh Gavrilo Princip. Alasan dasar Princip membunuh sang putra mahkota adalah nasionalisme Serbia yang menginginkan kemerdekaan Serbia dari Austro-Hongaria setelah lepas dari cengkraman Kesultanan Ustmaniyah pada abad ke-19. Ironisnya, pembunuhan itu sebenarnya semacam pembunuhan dari gerakan bawah tanah yang tidak direstui oleh banyak kalangan di Serbia...

Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan Minangkabau di Sumatra Barat

Oleh: Alfi Arifian        Provinsi Sumatera Barat dihuni oleh mayoritas etnis atau bangsa yang disebut Minangkabau (Minang). Bangsa Minang memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan unik. Lahirnya bangsa Minangkabau sendiri adalah hasil dari asimilasi budaya yang di dalamnya terdapat banyak akulturasi budaya yang mengidentifikasi kelembagaan adat Minangkabau . Bangsa Minangkabau adalah bangsa sastra. Lahirnya karya sastra besar negeri ini didominasi tokoh-tokoh kelahiran Minang . Hal ini karena kebudayaan Minang sendiri yang lahir dari sebuah legenda, mitologi, atau dongeng. Minangkabau hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis atau kronik historis karena budaya lisan yang sangat mendominasi. Sejarah Minang lebih banyak berasal dari lisan atau cerita mulut yang diwariskan turun temurun yang disebut tambo ( Tambo Alam Minangkabau ) . Tambo berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘kabar’. Makanya dalam istilah Orang Minang disebut ‘kaba’. Tamb...